Sabtu, November 05, 2011

ISLAM BUKAN AGAMA !!!

DIENUL ISLAM, BUKAN AGAMA ISLAM!
Salah kaprah umat muslim di Indonesia memahami ISLAM sebagai AGAMA. Mari bersama sempurnakan Aqidah kita dengan pemahaman yang Islam syumul dan kaffah, karena muslim hari ini juga telah melupakan Pondasi Awal dalam beribadah kepada Alloh Subhanahu wa ta'ala.

Sebelum kita tahu mengapa ISLAM BUKAN AGAMA. Penuhilah pondasi awalnya...
yaitu mengenai SYAHADAT HARAM. Mengapa demikian? Mari kita telusuri ESENSI-nya sebagai pondasi awal kita, di link ini :) (SYAHADAT HARAM)

selanjutnya, kita maknai tentang ISLAM BUKAN AGAMA.

Prolog :

Din al-Islam  merupakan  tatanan hidup (syari’ah = aturan, jalan hidup) ciptaan Allah untuk mengatur segenap aktivitas manusia di dunia, baik aktivitas lahir maupun aktivitas batin. Aturan Allah yang terkandung dalam al-Islam ini bersifat absolut.  Selanjutnya, aturan Allah dibagi dua, yakni : Pertama,  aturan  tentang tata keyakinan disebut Aqidah  (sistema credo). Kedua adalah aturan tentang tatacara beribadah, yang  disebut syari’ah ibadah  (sistema ritus). Ada satu lagi yang disebut Akhlaq, yakni aturan tentang tatacara menjalin hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Akhlaq ini, sebenarnya, adalah syari’ah  ibadah juga,  hanya saja dilihatnya dari persepktif layak dan tidaknya suatu perbuatan dilakukan,  bukan sekadar wajib dan haram. Aqidah, syari;ah dan akhlaq ini dalam terminology lain adalah Iman, Islam dan Ihsan.

Seorang mukmin memiliki keterikatan (commited) dengan al-Islam yakni : (1). Meyakini kebenaran aturan al-Islam sebagai kebenaran yang absolut. (2). Mengamalkan seluruh aturan Islam yang absolut itu secara kaffah (menyeluruh), dan (3). Mendakwahkan al-Islam melalui hikmah (pendalaman keilmuan), mau’idlah (nasihat-nasihat) jadilhim billati hiya ahsan (diskusi, seminar, dialog interaktif yang menarik ), yang ditujukan kepada ke segenap manusia di dunia ini tanpa kecuali.

Din berasal dari kata dana yadinu dinan berarti tatanan, sistem atau tatacara hidup. Jadi Din al-Islám berarti tatacara hidup  Islam. Tidak tepat apabila din  diterjemahkan sebagai agama, sebab istilah agama (religion, religie) hanyalah merupakan alih  bahasa saja yang tidak mengandung makna substantif dan essensil. Lebih dari itu apabila din diterjemahkan sebagai agama maka maknanya  menjadi sempit. 

Di Indonesia misalnya,  agama yang diakui hanya ada enam , yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu  padahal di Indonesia terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan tatacara hidup. Dengan memaknai din sebagai tatanan hidup, maka yang dimaksud dengan istilah muslim adalah orang yang ber-din al-Islám, sedangkan istilah kafir adalah orang-orang yang  ber-din ghair al-Islam. 

Din al-Islam sebagai tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan,  dari mulai masalah ritual sampai kepada masalah mu‘ámalah termasuk masalah sosial budaya,  sosial ekonomi, sosial politik, bahkan sampai kepada masalah kenegaraan.  Seseorang yang mengaku muslim atau menganut din al-Islám harus mengikuti tatanan  hidup Islam secara káffah ; integratif dan komprehensif  apapun resikonya.  Apabila ia menolaknya,  maka ia pasti akan terpental di akhirat sebagaimana diterangkan di dalam QS. 3 : 19  dan ayat 85 :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ اْلإِسْلاَم (ال عمران : 19 ) وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين (ال عمران : 85)
Sesungguhnya dân  atau tatanan hidup (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. 3 : 19 ) Barangsiapa mencari tatanan hidup selain  Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dân  itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS. 3 : 85).

Din terbagi dua yang sangat jelas bedanya, yakni din al-haq dan din al-Bathil. Yang dimaksud dengan din al-haq ialah  din yang  berisi aturan Allah yang telah didesain sedemikian rupa sehingga  sesuai dengan fitrah manusia. Aturan ini kemudian dituangkan di dalam kitab undang-undang Allah, yakni Al-Qur’an.  Sedangkan di luar din al-Islam  adalah  din  yang berisi aturan manusia sebagai produk akal, hasil angan-angan, imajinasi, hawa nafsu serta merupakan hasil kajian falsafahnya. Tatanan hidup yang demikian bukan saja  tidak bisa  menyelamatkan manusia tapi justeru mencelakakan.
Berdasarkan pengelompokkan din ini, maka manusia sebagai pemilih din,  otomatis hanya terbagi menjadi dua kelompok yang  jelas-jelas  berbeda (furqán), yakni kelompok Huda  dan kelompok Dhallin  (kelompok orang-orang  yang tersesat).
Kelompok Hudá adalah kelompok yang memilih din Islam sebagai tatanan hidupnya. Ini berarti bahwa mereka  telah mengikuti jalan yang haq  sehingga Allah akan menghapuskan segala kesalahannya. Sedangkan kelompok Dhalalah adalah orang-orang yang memilih din  selain Islam. Ini berarti mereka telah mengikuti aturan yang salah dan telah menjadikan syetan sebagai pimpinan mereka. Mereka itulah orang-orang yang sesat sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an surat 7 : 30 dan surat 47 : 1,2,3  
فَرِيقًا هَدَى وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلاَلَةُ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ(30)
Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.

الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ(1) وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَءَامَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ(2)ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ(3)
Orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka. Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka. QS. 47 : 1,2,3.

Dalam pandangan Al-Qur’an, din al-Islám adalah satu-satunya dân ciptaan Allah, dân yang satu ini adalah aturan untuk seluruh umat manusia tanpa kecuali. Namun pada tataran realita sekarang ini Din al-Islam menjadi banyak ragam dan versinya.  Semua ini  sebagai akibat  kesalahan manusia sendiri.
Sementara itu, din-din hasil ciptaan manusia berdasarkan akal, imajinasi dan falsafah sebagaimana telah dikemukakan di atas telah  melahirkan banyak din dan isme-isme lainnya, antara lain  Materialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Markisme, Komunisme, Nasionalisme, dan Kolonialisme.  
Segala macam aturan hasil manusia tersebut yang termasuk katagori din al-bathil telah terbukti gagal dalam mengatur umat manusia. Materialisme yang bertitik tolak dari dan berorientasi  kepada materi telah melahirkan orang-orang yang serakah;  Kapitalisme yang menitikberatkan kepada penguasaan kapital (modal) telah melahirkan terjadinya monopoli;  Liberalisme yang menitikberatkan kebebasan dan menonjolkan hak individu telah melahirkan terjadinya jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin, serta melahirkan kecemburuan sosial dan dekadensi moral; Sedangkan Komunisme telah melahirkan manusia yang  tidak mengenal Tuhan dan tidak mengenal hak milik individu sehingga melahirkan ketidakpuasan. Oleh karena tatanan hidup produk falsafah manusia itu telah terbukti tidak membawa keselamatan, maka manusia harus segera hijrah kepada din al-Islám

Pilar-Pilar Islam : 
Islam sebagai din (tatanan hidup) sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Syaltout  terdiri dari dua pilar yakni Aqidah dan Syari’ah. 

Aqidah :
Secara bahasa, akidah adalah  ما عقدعليهاالقلب والضامر  
yang mengandung arti, ikatan yang terpatri di dalam hati. Hasan al-Bana di dalam bukunya Al-Aqáid menyatakan bahwa akidah adalah “sesuatu yang harus diyakini oleh hati dan dipercaya oleh jiwa, sehingga  menjadi keyakinan yang tak ada sedikitpun keraguan dan kebimbangan”.  Jadi akidah itu bukan  berisi konsep sistem teologi semata tetapi berisi segala macam persoalan yang berkaitan dengan kepercayaan. Akidah merupakan sejumlah  nilai yang diyakini, dengan kekuatan pokok terletak pada tawhid atau dalam istilah lain disebut teologi. 
Dilihat dari sisi kedudukan dan essensinya,  akidah merupakan fundamen agama yang sangat berperan sebagai motivator dan pewarna segala macam aktivitas, baik aktivitas lahir maupun aktivitas batin. Akidah sangat mempengaruhi sikap (attitude) seseorang baik cara berbicara, cara bertindak, cara hidup dan cara mati.  Akidah menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini. Ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat untuk mentrans-formasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya.  Oleh karena itu, dalam pandangan Hasan Hanafi, ajaran Islam yang paling inti adalah tauhid. Tauhid adalah basis Islam.  Untuk bisa membangun kembali peradaban Islam tak bisa tidak harus dengan membangun kembali semangat Tauhid itu.   
Karena begitu pentingnya kedudukan dan fungsi tauhid, Harun Nasution menegaskan bahwa setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk suatu agama secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.  
Akidah merupakan sesuatu yang fundamental dalam din  al-Islám, sebagai titik dasar awal seseorang menjadi muslim. Akidah sebagai landasan din  al-Islám merupakan ajaran yang universal yang abadi, tidak mengalami perubahan sepanjang masa, sejak adanya misi risálah Nabi Allah ; Adam a.s hingga kerasulan Muhammad shalallhu 'alaihi wassalam, yakni membawa misi akidah yang sama yaitu monotheisme atau tauhid (QS. 7 ayat  65, 73 dan 85, surat 11 ayat 26,50,61, 48 surat 21 ayat 25 dan surat 16 ayat 36).  Makna tauhid adalah mengesakan Tuhan dalam segala hal, suatu tuntutan keyakinan bahwa Allah adalah ilah (Tuhan) yang mutlak.
   Untuk mengetahui taksonomi Tauhid bisa dilihat pada surat al-Fatihah dan nisbah (hubungan) –nya dengan surat An-Nas. Surat Al-Fátihah yang merupakan Umm al- Qur’an atau umm al-kitáb berisi statement maha penting, terutama pada  kalimat Rabbul ‘álamin, Máliki Yaum ad-din  dan Iyyáka na‘budu. Demikian juga pada surat terakhir yakni surat an-Nás ada kalimat rabb an-nás, málik an-nás dan iláh an-nás.  
Kedua surat itu mengandung konklusi pengesaan Allah yang luar biasa, mengandung konsep tauhid yang lengkap dan kokoh. Dengan demikian Al-Qur’an dibingkai oleh dua surat (awal dan akhir) yang memuat pesan tauhid yang sangat kuat. Munásabah (interrelasi)   kedua surat itu menggambarkan secara jelas adanya  tiga macam refleksi ketauhidan, yakni Tawhid Rubbubiyah, Tawhid Mulkiyah dan Tawhid Uluhiyah. 

Kata Rabb secara etimologi berarti seseorang yang menunjang dan menyediakan kebutuhan orang lain (termasuk hal-hal yang menyangkut pemeliha-raan dan pertumbuhannya), sehingga kata rabb sering diartikan tuan atau pemilik,  misalnya kata rabb al-mál (pemilik benda)  rabb ad-dár (pemilik rumah). Di dalam surat Yusuf (12 : 14) terdapat kata udzkurnâ ‘inda rabbik yang artinya “Terangkanlah keadaanku kepada Tuanmu!”. yakni orang yang memelihara nabi Yusuf yaitu Suami Siti Zulaiha yang berada di Mesir.
Secara terminologi, Rabb mengandung dua pengertian, yakni sebagai Pencipta dan sebagai Pemilik. Sebagai Pencipta, mengandung maksud bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia. Dia adalah  Maha Pengatur segala urusan, Maha Pemelihara, Maha Pemberi rizki, Maha Pendidik, dan Maha  Penjamin stabilitas keamanan. ( QS. 96 : 1 -5 ,  QS. 10 : 3,31,32.   QS. 2 :21,22 .  QS. 42 : 11-12, QS. 106 : 3 -4). Sedangkan Rabb sebagai Pemilik mengandung maksud bahwa Allah adalah pemilik alam,  pemilik hukum, dan pembuat undang-undang. (QS. 42 :10 QS. 7 :2,3. QS. 6 : 144, QS. 32: 2,3 QS. 10:37, QS 12 : 40).
Dengan demikian yang dimaksud dengan Tauhid Rubbãbiyah adalah meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb, yang menciptakan, memelihara, memberi rizki,  dan mengatur manusia. Oleh karena itu, di tangan Allah-lah kewenangan secara absolut untuk membuat undang-undang atau hukum. Apabila manusia mencoba membuat  atau memproduksi hukum di luar hukum Al-Qur’an yang bertentangan dengan al-Qur’an, maka sama saja dengan memproklamirkan diri sebagai Rabb. Dengan demikian ia termasuk orang yang musyrik.
Allah dengan predikat sebagai Rabb al-‘álamin telah menata alam semesta ini dengan undang-undangNya yang disebut Sunnatullah (Sunnah Alláh). Sedang-kan Allah dengan predikat Rabb an-nás (QS. 114 :2) berarti Allah-lah yang telah menata kehidupan manusia dengan wahyu Al-Qur’an (Rubbubiyah Allah). Seluruh aturan dan perundang-undangan yang merupakan produk akal manusia (di luar wahyu) harus dinyatakan gugur karena dinilai  batil, sesat,  termasuk hukum jahiliyah yang tak lain  merupakan hukum hawa nafsu. Orang yang berpegang kepada aturan produk akal dan  mengingkari hukum Allah (Rubbubiyah Allah) dihukum zalim, fasik, dan musyrik. Dihukum demikian karena ia  telah mengingkari tauhid Rubbubiyah.
Selanjutnya, manusia yang mengaku Allah sebagai  Rabb an-Nás wajib melaksanakan undang-undangNya  di muka bumi, jika tidak, maka pengakuan terhadap Allah sebagai rabb an-nás adalah dusta dan oleh karena itu ia dinyatakan “… sedikitpun mereka tidak beriman hingga menegakkan hukum wahyu’. (QS. 4 : 52).
Tauhid Mulkiyah adalah pengakuan seorang hamba bahwa hanya Allah-lah satu-satu málik (Raja) yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sehingga manusia wajib menaati Allah melebihi segalanya.  Ini berdasarkan firman Allah di dalam surat 25 : 2 dan surat 17 : 111 :
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا(2)
"(Allah) yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. 25 : 2).

فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولاَهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلاَلَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَفْعُولاً(5)
Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا(111)
Dan katakanlah : Segala puji bagi Allah yang tiada mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan. Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”.(QS. 17 : 111).

Lebih menaati, lebih takut dan lebih cinta kepada makhluk daripada Allah Subhanahu wa ta'ala adalah syirik Mulkiyah.

Masih ada lagi taksonomi Tauhid dalam pandangan ulama lain.  Di dalam kitab “ Fath al-Majid, syarah kitab Tauhid Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, yang disusun oleh ‘Abdurrahman ibn Hasan ‘Ali asy-Syaikh dan diteliti oleh ‘Abd al-‘Azâz ibn ‘Abdillah ibn Báz,  dengan mengutip pendapat Ibn al-Qayyim, dinyatakan bahwa tauhid dibagi ke dalam dua macam, yakni : (1). Tawhid fi al-ma‘rifah wa al-i`bat,  yang meliputi tauhid Rubbubiyah dan tauhid Asmá’ ash-Shifát. (2). Tawhid  fi ath-Thaláb wa al-qaid  yang meliputi tauhid Iláhiyyah (uluhiyyah) dan ‘Ibadah (‘Ubudiyah).   Dengan  demikian tauhid terbagi empat bagian  yakni tauhid Rububiyah, tauhid Asmá’ wa as-Shifát, tauhid Uluhiyah dan tauhid Ubudiyah namun bisa diringkaskan menjadi dua saja yakni tauhid Rubbubiyah dan Uluhiyah sebab yang dua lagi hanyalah merupakan sub saja.  Adapun penjelasan masing-masing tauhid itu adalah  sebagai berikut di bawah ini.
   Tauhid Rubbubiyah adalah: ”huwa I‘tiqádu anna Alláh wahdah khalaqa  al-‘álam”  ialah meyakini bahwa sesungguhnya Allah yang Maha Esa-lah yang telah menciptakan segenap alam. Jadi tauhid Rubbubiyah adalah mengesakan Allah sebagai Rabb (Pencipta, Pengurus dan Pengatur) alam ini. Dalam ma‘rifah kepada Allah sebagai Rabb, manusia harus memahami asmá’ (nama-nama) dan Shifát Allah,  termasuk pekerjaan-Nya, qadha dan qadar-Nya  beserta hikmah-hikmahnya, sebagaimana termaktub antara lain pada awal surat al-Hadid, Thahá, al-Hasyr, awal surat àli ‘Imrán, dan surat al-Ikhlásh.
Tauhid Uluhiyah  adalah pengesaan Allah sebagai tuhan yang harus disembah (Uluhiyah) dan oleh karena itu melahirkan pengabdian hanya kepada Allah (‘Ubudiyah) sebagai simbol monoloyalitas. Seseorang yang memiliki tauhid Uluhiyah dan Ubudiyah adalah mereka yang meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah,  tidak beribadah kecuali kepada-Nya, tidak bertawakkal kecuali kepada-Nya, tiada memilih Wali (pelindung) kecuali Dia, tidak beramal kecuali untuk keagungan-Nya, sebagaimana termaktub antara lain dalam surat al-Káfirun, surat al-Mu‘min, awal surat al-A’ráf, dan surat al-An‘ám. Walaupun sebenarnya semua ayat al-Qur’an memuat ajaran tauhid. 
   Demikian juga Abu Bakar al-Jaziry membagi tauhid  kepada empat macam yakni (1). Tawhid Rubbubiyah, (2). Tawhid Uluhiyah (3).  Tawhid Asmá’ wa ash-shifat dan (4). Tawhid ‘Ubudiyah yang penjelasannya kurang lebih sama dengan penjelasan di atas. 
Pembagian tauhid yang dikemukakan oleh dua nara sumber di atas tidak mencantumkan adanya tawhid Mulkiyyah , hal itu sebenarnya tak jadi masalah sebab sebenarnya taksonomi tauhid bukanlah teks Al-Qur’an atau hadits tetapi merupakan kesimpulan hasil analisis para ulama.  Dalam hal ini, rujukan tentang tawhid Mulkiyah yang dikemukakan di atas, memiliki rujukan ayat-ayat al-Qur’an yang sangat banyak jumlahnya sebagaimana telah diterangkan. Bahkan bisa penulis tambahkan di sini,  bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 50 kata málik, mulkiyyah atau malakãt yang menunjukkan bahwa Allah adalah Raja.  

Syari’ah : 
Secara umum, syari'ah didefinisikan  sebagai :
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المتكلفين بالإ قتضاء او التخيير او الوضع او المانع
Syari'ah adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum berupa melakukan suatu perbuatan, memilih atau menentukan sesuatu (sebagai syarat, sebab atau penghalang).

Sedangkan definisi ibadah sebagaimana dijelaskan oleh al-'Imad Ibn Ka`ir adalah:
هي طاعته بفعل المأمور و ترك المخظور
Ibadah adalah ketaatan kepada Allah SWT dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Di sini lebih terbatas kepada ukuran haram halal. 

Definisi lain yang lebih luas adalah   :
اسم جامع لكل ما يحبه ويرضاه من الأقوال و  العمل الظاهرة والباطنة 
Ibadah adalah isim jami’ yang ditujukan kepada segala aktivitas yang disukai dan diridai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun tidak tampak. Bahkan definisi ibadah bisa lebih simpel, yakni  hidup sesuai dengan aturan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. 
Adapun tujuan ibadah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawy, adalah untuk mencapai keridaan Allah SWT.  Kalau digabungkan menjadi syari‘ah ibadah, maka maksudnya adalah segala macam aturan, baik wajib, sunat atau haram yang menyangkut tatacara mengabdi kepada Allah dalam rangka mencari keridaan-Nya.  
Baik akidah maupun syari‘ah kedua-duanya adalah aturan Allah, bedanya akidah merupakan aturan tentang keyakinan (sistema credo) sedangkan syari‘ah ibadah merupakan  aturan tentang tata beramal (sistema ritus). Dari sisi fungsi, akidah sebagai fondasi sedangkan syari'ah adalah bangunannya  Supaya bangun-an syari‘ah ibadah bisa tegak berdiri, maka fondasi akidah harus benar-benar kokoh. Sangat mustahil seseorang mau melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati kalau fondasi akidahnya lemah.
Supaya ibadah seorang hamba dapat diterima oleh al-Ma‘bud (Yang disembah),  ada salah satu syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu yakni memahami siapa itu al-ma‘bud.  Ini artinya seorang hamba harus terlebih dahulu mengenal Allah, baik sebagai Rabb, sebagai  Málik maupun sebagai Iláh. 

Selanjutnya, secara garis besar,  aktivitas ibadah ini terbagi dua katagori  yakni ibadah mahdloh  dan ibadah gair mahdloh. Ibadah  mahdloh (mihadl  = bersih), adalah rangkaian ibadah yang bersih tidak bercampur dengan aturan dari luar. Termasuk ke dalam ibadah mahdloh  ini adalah salat, saum, zakat dan haji. 

Akhlaq : 
Apabila seseorang memiliki aqidah yang benar dan kokoh, maka ia akan mudah melaksanakan syari’ah secara konsisten. Selanjutnya, aqidah dan syari;ah akan membuahkan akhlaq. 

Akhlak adalah perilaku manusia yang nampak maupun yang  tidak nampak seperti kegiatan hati. Akhlak bukanlah sebatas sopan santun kepada sesama manusia tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi hubungan dengan Allah (Hablum minallah), hubungan dengan sesama manusia (Hablum minannas), dan hubungan dengan alam sekitar  (Hablum minal ‘alam).

Contoh akhlak hablum minallah adalah shalat, haji, doa, dzikir, syukur nikmat dll. Contoh akhlak hablum minannas  adalah menjenguk orang yang sakit, saling tolong menolong, mengikis dendam dan  saling memaafkan. Sedangkan contoh hablum minal ‘alam seperti  tidak membuang sampah sembarangan, menyantuni hewan, bersikap hemat energi, memanfaatkan sumber daya alam sebaik mungkin, dll.

Objek bahasan akhlak dengan syari’ah adalah sama, yang berbeda hanyalah sudut pandangnya. Contoh,  Shalat. Dari perspektif syari’ah fiqih,  shalat dipandang sebagai kegiatan ibadah mahdloh dengan tatacara tertentu, dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Sedangkan shalat dalam perspektif akhlak adalah taqarrub kepada Allah, melalui jalan mahabbah (perasaan cinta) bukan sekadar karena suatu kewajiban. 

Pandangan lain :
Bisa juga din al-Islam dipandang sebagai syari’ah dalam arti luas. Kemudian syariah terbagi tiga, yakni :
1.   Syari’ah (aturan) tentang tata keyakinan disebut aqidah. Sasarannya adalah qalbu dalam hubungannya dengan kepercayaan.
2.   Syari'ah (aturan) tentang tata cara (how to do) beribadah, disebut syari'ah ibadah. Sasarannya lebih kepada anggota badan.  
3.   Syari’ah (aturan) yang mengatur bagaimana menjalin hubungan baik dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar, atau disebut akhlaq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar